Disabilitas, Gender dan Media

Posted by Nur Inayah

Maret 16, 2021

BY Nurul Hasfi

Disabilitas merupakan hal yang normal…(Dr. Lynn Rose)

Media merupakan institusi terpenting yang mendorong kesetaraan hak penyandang disabilitas ….(Dr. Nurul)

Satu cara mendukung hak penyandang disabilitas adalah pendidikan…(Niyan)

Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan 10 Februari 2021 oleh Atensi.co, NGO fokus pada literasi media digital, berlangsung lancar diikuti 200 peserta. Acara ini dipandu Dyah Paramita SH, LL.M dari Center for Regulation Policy and Government (CRPG) berbasis di Oman.

Pembicara pertama Dr. Lynn Rose, Profesor American University of Iraq Sulaimani  (AUIS) membuka webimar dengan paparannya tentang ‘Ableism, Disability, and Gender’ yang menjelaskan bagaimana perempuan difable memiliki ‘beban ganda’ di masyarakat.

Dr Lynn mengargumentasikannya dari sisi teoritis tentang adanya 8 identitas sosial yang menjadi obyek diskriminasi yakni etnisitas, gender, umur, seksualitas, disabilitas, budaya, kelas dan agama. Disabilitas sendiri dideskriminasi dalam konsep yaitu sexism dan ableism yang dalam praktiknya bisa berupa komentar kasar, pendiaman, dan diskriminasi di berbagai sektor.

Ia juga memaparkan problematika medical model of disability yang melihat permasalahan difable dari sisi medis. Pandangan dari sisi medis ini dikritik karena melihat penyandang disabilitas sebagai ketidaknormalan. Pandangan tersebut di-counter dengan the social model of disability yang tidak lagi melihat difable sebagai problem.

Namun tidak berarti masalah selesai, karena masih ada penghambat penyandang disabilitas yakni lingkungan (keterbatasan akses, jasa, gedung, bahasa dll) dan sikap masyarakat  (stereotype, prejudice, discrimination). Dr Lynn menutup diskusi dengan mempromosikan disabilitas sebagai hal yang normal.

Pembicara selanjutnya, Dr. Nurul Hasfi dari Mikom Undip secara khusus memaparkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang dilakukan oleh institusi media dalam makalahnya berjudul ‘Representasi Penyandang Disabilitas di Media di Indonesia’.

Dr. Nurul mengawali presentasinya dengan fakta bahwa penyandang disabilitas di Indonesia berada dalam sebuah lingkungan sosial yang tidak mendukung keberadaan mereka, mulai dari lingkungan terkecil keluarga, masyarakat hingga pemerintah.

Meski telah memiliki UU No 8 th 2018 yang menjamin kesetaraan hak disabilitas, namun aplikasinya masih banyak problematika. Fasilitas publik misalnya yang masih minim menyebabkan difable di Indonesia ‘ekslusif’ karena terbatasnya mobilisasinya.

Ia berpendapat, seharusnya media terlibat aktif dalam memecahkan permasalahan penyandang disabilitas ini. Namun kenyataanya banyak perilaku media justru melanggengkan nilai-nilai diskriminasi yang telah ada dan bahkan mengkonstruksi stereotype baru.

Ia mencontohkan berbagai praktik diskriminasi, stereotype, bullying, eksploitasi terhadap penyandang disabilitas di berbagai konten media mulai dari berita, sinetron, talkshow dan reality show.

Salah satu konten yang seolah positif bertema penyandang disabilitas inspiratif ternyata mempraktikkan konsep inspiration porn (Stella Young). Problemnya yakni penyandang disabilitas dilihat sebagai manusia satu dimensi daripada manusia yang juga memiliki banyak problematika.

Masalahnya, konsep inspiration porn ini justru meminggirkan isu esensial yakni terbatasnya akses untuk penyandang disabilitas terhadap pendidikan, transportasi, kesehatan yang justru butuh disuarakan.

Meski Dr Nurul juga menyorot ada media-media yang mempraktikkan good journalism terhadap isu difable seperti watchdoc, Jakarta post dan Harian Kompas, namun permasalahan ini tidak mudah diselesaikan dengan cepat.

Pembicara terakhir Niyan Aziz S Mohamad dari Halabja Disabled Organization (HDO) Iraq memaparkan problematikan penyandang disabilitas di Irak yang disebabkan oleh serangan senjata kimia di Halabja.

Di area ini ada lebih dari 4000 penyandang disabilitas yang ditangani HDO dimana mereka mendapatkan berbagai support seperti edukasi, dukungan keluarga, community awareness dll.

Ia memaparkan permasalahan penyandang disabilitas disana. Tahun 2019 HDO mengunjungi rumah warga yang memiliki anak dengan disabilitas dan melakukan survey. Sebagian besar mengatakan jika anak mereka tidak sekolah karena tidak adanya fasilitas. Orang tua juga merasa tidak perlu menyekolahkan karena tidak adanya jaminan keamanan untuk anak mereka.

Permasalahan lain yakni kesempatan kerja dimana undang-undang yang menjamin kesepatan kerja untuk penyandang disabilitas pada praktiknya tidak berjalan baik, sama dengan yang terjadi di Indonesia.

Dari 3 paparan para pembicara pada dasarnya penyandang disabilitas di dunia memiliki permasalahan pada area yang serupa seperti akses fasilitas publik, pendidikan, kesehatan dan permasalahan sosial seperti stereotype dan kekerasan verbal.

 

 

 

 

 

 

@MIKOM UNDIP NEWS

0 Komentar