Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional, LP3ES menyelenggarakan Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik diselenggarakan LP3ES bertajuk “Menghadirkan Jurnalisme Berkualitas di tengah Pandemi, Terpaan Revolusi Digital dan Kemunduran Demokrasi” pada hari Selasa, 9 februari 2021.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, menyebut tiga tantangan pers di era Pandemi. Pertama, ekonomi politik konglomerasi media. Kedua. budaya talking and click-bait journalism. Ketiga, manipulasi opini publik di media sosial yang terjadi di lima kasus politik di Indonesia (Pilpres 2019, Revisi UU KPK, New Normal, Omnibus Law, dan Pilkada Serentak). Di tengah laju regresi demokrasi di Indonesia, semestinya pers menjadi institusi yang berperan menahan laju regresi dan mendorong terwujudnya konsolidasi demokrasi.
Ninuk Mardiana Pambudy, redaktur senior Harian Kompas, dari sisi praktisi media, menjelaskan bahwa pandemi menyebabkan pendapatan media dari iklan menurun drastis. Sehingga tidak mengherankan jika banyak media cetak yang gulung tikar selama Pandemi, hanya beralih ke media online saja. Transformasi digital ini juga membutuhkan pendanaan yang tinggi, terutama untuk manajemen dan perawatan IT, selain itu ada persoalan sumber daya manusia yang terbatas di bidang IT. Persaingan media bukan hanya sesama digital, tetapi media-media baru yang beralih ke online.
Budi Setyarso pun merespons dengan memaparkan tantangan yang dialami pers di tengah situasi melemahnya demokrasi selama Pandemi. Selaras dengan hal itu, Nurul Hasfi, pakar komunikasi dari Universitas Diponegoro memaparkan kembali bagaimana Pandemi Covid-19 merupakan tantangan yang berat bagi media pers. Media-media cetak mengalami dampak dari Pandemi. Salah satunya adalah Koran Tempo yang beralih sepenuhnya menjadi digital dan koran Indopos tutup, baik cetak maupun digitalnya. Suara Pembaruan pun menghentikan cetaknya.
“Tantangan Pers dan demokrasi selama Pandemi dapat dilihat dari berbagai aspek. Pertama, sisi lingkungan politik, ada Subsidi pers dari pemerintah dan dana iklan dari pemerintah. Ada usulan dari Dewan Pers untuk Pemerintah berupa subsidi pers untuk menyokong pers selama Pandemi, lalu ada fellowship yang disebut “Ubah Laku” untuk jurnalis dimana pemerintah memberikan sejumlah uang dengan balasan berupa berita tentang Covid-19,” katanya.
Sedangkan Herlambang P. Wiratratman menyampaikan beberapa hal krusial yang dialami jurnalis terkait dengan pelanggaran HAM. Ada peningkatan kekerasan yang dialami jurnalis yang mencapai 117 kasus selama tahun 2020. Kemudian, ada pula serangan digital berupa kasus internet shutdown di Papua, peretasan situs Tempo dan Tirto, juga doxing atau persekusi digital.
0 Komentar