Media sosial yang semula hanya berfungsi sebagai alat eksistensi diri, kini merambah untuk mempengaruhi iklim politik suatu negara sehingga berpengaruh kepada agenda publik. Di acara World Class University FISIP UNDIP Studium Generale bertajuk “Media, Journalism and Politics in Indonesia and the USA” terdapat tiga sub topik mengenai pengalaman Amerika Serikat dalam tradisi jurnalisme di media. Acara ini berlangsung secara virtual, Rabu (25/11/2020).
Menurut Craig Allen, PhD, Peneliti Jurnalisme dan Media Arizona State Uni, terdapat dua hal penting, pertama perilaku negatif Media USA dalam Pilpres 2020 di USA bias karena secara dominan menyerang Trump dan media gagal menyampaikan keakuratan hasil poling pilpres. Hanya 40% publik percaya mainstream media, angka ini terendah dalam sejarah media USA. Kedua, media mainstream USA mengalami kebangkrutan ekonomi dan finansial selama lima hingga delapan tahun terakhir karena platform online khususnya media sosial.
Executive Director of CSIS Philips J. Vermonte, PhD, menambahkan bahwa terdapat fenomena Angry Voters dalam Voting Behaviour, dimana sebagian kecil masyarakat tidak terpengaruh oleh kampanye politik, pilihan mereka lebih diberatkan pada aspek agama, geografis, Misal Pemilih republikan biasanya adalah protestan dan tinggal di desa sementara Demokrat dipilih oleh pemeluk katolik di perkotaan.
Sementara Wakil Dekan I FISIP Undip, Dr. Teguh Yuwono S, M. Pol. Admin., mengatakan walaupun Trump menjadi public enemy, namun ia tetap mendapat suara tinggi. Hal itu dikarenakan partai republik dan demokrat memiliki pendukung yang jumlahnya nyaris sama.
Ini menjadi sorotan bagi Dr. Nurul Hasfi yang menyampaikan pesimisme terhadap Twitter sebagai sarana komunikasi politik karena menghasilkan komunikasi politik koersif yang membahayakan pluralisme bangsa (politik agama, etnisitas). Hal ini disebabkan karena kecenderungan menggunakan pendekatan strategic communication yang berorientasi pada kemenangan semata sehingga kampanye politik mendegradasi kualitas demokrasi. Prediksi kedepan, komunikasi politik di Twitter tidak semakin baik, termasuk dalam pilpres apalagi dengan trend penggunaan SNA yang mampu mengukur sentiment publik dan opini publik, namun rentan dimanipulasi.
0 Komentar