Minim, Sosialisasi Pemilu bagi Kalangan Disabilitas

Posted by Nur Inayah

Maret 5, 2021

SEMARANG – KPU sebenarnya memiliki perhatian besar bagi pemilih penyandang disabilitas. Buktinya, banyak aturan hukum dibuat untuk memayungi layanan bagi mereka. Sayangnya, pelaksanaan niat baik itu belum sepenuhnya maksimal di lapangan.

Ini yang mendasari hasil riset dosen Ilmu Komunikasi Undip tentang aksesibilitas disabilitas terhadap ICT dan partisipasi politik mereka dalam Pilgub Jateng 2018 yang merupakan bagian dari pengabdian masyarakat di Yayasan Pendidikan Anak Cacat, Semarang di Jl. Kh Ahmad Dahlan 4, Pekunden, Semarang Tengah, Kota Semarang.

Tim riset Departemen Ilmu Komunikasi Undip yang terdiri dari Dr Nurul Hasfi, JN Gono, MSi dan Wiwid NR menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat Pilgub Jateng 2018 kurang melakukan sosialisasi mengenai partisipasi politik online  kepada para difabel, seperti penyandang tuna rungu, tuna netra, tuna daksa dan tuna grahita. Akibatnya, mereka belum mendapatkan informasi yang mencukupi dalam mendapatkan hak-hak politiknya.

Ketua Tim Peneliti Dr Nurul Hasfi meminta, penting bagi penyelenggara pemilu untuk memerhatikan aksesibilitas penyandang difabel terhadap internet dan bagaimana partisipasi politiknya di dunia maya.

“Selama ini, undang undang lebih menyorot kepada aksesibilitas fasilitas fisik mulai ketersediaan template untuk penyandang tuna netra, akses difabel ke tempat pemilihan dan keterbatasan fisik lainnya. Padahal,  pemanfaatan teknologi internet oleh difabel juga tak kalah penting,” tuturnya.

Roemah Difabel menyebutkan sekitar 80 persen anggotanya telah memiliki akses internet. Sementara pemilih difabel di daerah masih terbatas dalam mendapat akses, misalnya di NGO Sehati yang mengaku hanya 20 persen anggotanya terakses internet

Anggota Tim Peneliti Wiwid NR menyatakan, terkait dengan internet habit, para difabel ini memiliki kebiasaan yang sama dengan masyarakat Indonesia yakni menyukai sosial media dalam hal ini Facebook, Instagram dan Twitter.

Hal ini memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya memiliki akses terhadap terpaan informasi politik, namun masih lemah dalam partisipasi politik online.

“Aktivitas di dunia maya masih sebatas untuk aktifitas lain seperti bisnis, bersosialisasi dengan teman-teman sesama difabel dan publikasi kegiatan-kegiatan mereka di NGO (Non Goverment Organization),” tuturnya.

Penyampaian aspirasi politik selama ini masih dilakukan secara kolektif oleh NGO sementara gerakan politik kolektif maupun individu melalui internet bisa dikatakan lemah.

“Hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama karena seharusnya internet bisa menjadi kepanjangan tangan dari indera mereka yang mungkin terbatas” tambahnya.

Temuan lain yang juga menarik yakni, meskipun KPU telah menyediakan website ramah difabel dan aplikasi SWARA namun pada kenyataanya dalam wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini tidak ada NGO dan difabel yang mengakses media sosialisasi tersebut. Bahkan kebanyakan diantara mereka yang tidak tau menahu tentang keberadaan media tersebut.

Hal ini diakui karena lemahnya sosialisasi Pilgub Jateng 2018 terutama yang dilakukan melalui jalur media internet. Sosialisasi KPU masih berfokus menggunakan cara tradisional seperti menggunakan radio, iklan televisi dan pertemuan tatap muka.

“Disaat masyarakat umum kebanjiran informasi tentang pilgub, ada masyarakat kita yang tidak,” tambah Gono.

Selain para pemilih difabel juga disebabkan faktor internal yakni trauma karena merasa menjadi komoditas politis.

Mereka menjadi perhatian menjelang peristiwa politik namun setelah itu mereka dilupakan.

Sementara Guru YPAC Joko Waluyo menambahkan, banyak PR yang harus dilakukan untuk maksimalisasi akses internet dalam proses politik, karena dalam ranah nyata saja masih banyak permasalahan yang ditemui para difabel misalnya stereotype negatif yang akhirnya menyebabkan keluarga menganggap difabel sebagai aib keluarga.

Tim peneliti berharap hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pihak-pihak terkait untuk membantu meningkatkan akses internet pada difabel dan memperluas partisipasi politik online dan tidak terbatas selama pemilu saja.

Pihak-pihak yang telah diwawancara dalam penelitian ini diantaranya, NGO peduli difabel di Semarang, Surakarta dan Sukoharjo seperti Roemah Difabel, Pertuni, Sahabat Mata, Sehati, PPDI, Bina Akses, penyelenggara pemilu seperti KPU Jateng dan Bawaslu kota Surakarta dan para siswa difabel dan guru di lingkungan YPAC.

@MIKOM UNDIP NEWS

0 Komentar